TIDAK MENGQADHA PUASA HINGGA BERTEMU RAMADHAN, BAGAIMANA? - RAISUL FATA

Hot

Post Top Ad

Thursday, March 14, 2019

TIDAK MENGQADHA PUASA HINGGA BERTEMU RAMADHAN, BAGAIMANA?


Fenomena yang banyak terjadi di kalangan umat muslim ketika tidak melaksanakan puasa Ramadhan oleh suatu halangan adalah kecenderungan mengulur waktu mengqadha puasa yang pernah ditinggalkan itu hingga pada akhirnya bertemu dengan Ramadhan berikutnya tanpa menunaikan kewajiban qadha puasa sebelumnya tanpa ada uzur.

Berikut ini adalah beberapa alasan atau sebab seseorang tidak berpuasa;

1. Bagi laki-laki maupun perempuan yang tidak berpuasa karena sakit, kemudian sembuh, atau bagi musafir/ah yang tidak berpuasa kemudian kembali bermukim, wajib mengqadhanya dalam tempo setelah ‘Idul Fitri hingga satu hari sebelum Sya‘ban usai bila tidak ada halangan atau uzur.

2. Bagi wanita haid dan nifas saat Ramadhan, mereka berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya dalam tempo waktu yang disebutkan di atas saat masa-masa suci bila tidak ada halangan atau uzur.

3. Bagi wanita hamil dan menyusui di bulan Ramadhan dan memilih tidak berpuasa, mereka pun dapat mengqadha puasa itu dalam tempo waktu yang disebutkan di atas bila mampu. Apabila tidak mampu lantaran uzur disebabkan masih dalam masa hamil atau masih dalam masa menyusui, maka qadha tersebut dilakukan apabila telah mampu meskipun setelah Ramadhan berikutnya.

4. Wanita yang pada Ramadhan ini sedang hamil dan memilih tidak berpuasa karena kuatir pada dirinya atau pun pada bayinya, lalu ternyata pada Ramadhan sebelumnya pernah tidak berpuasa karena haid, maka sejatinya dia pernah mendapati momen wajib mengqadha puasa tanpa halangan -selain haid, sakit, atau safar- terhitung setelah ‘Idul Fitri sampai awal kehamilannya saat ini. Bahkan bila kehamilannya pada Ramadhan ini telah memasuki bulan ke-9, bila dihitung mundur, maka akan didapati kehamilannya dimulai pada bulan Muharram. Artinya, dia memiliki tempo tiga bulan untuk mengqadha puasanya tanpa halangan -selain haid, sakit ataupun musafirah-, yaitu pada bulan Syawwal, Dzul Qa‘dah dan Dzul Hijjah.

5. Dan beragam kondisi lainnya.

Mereka yang disebutkan di atas bila tidak ada halangan mengqadha puasa yang pernah ditinggalkan hingga akhirnya bertemu dengan Ramadhan berikutnya, maka selain mengqadha, juga ada kewajiban membayar “kafarat” (baca : Fidyah) sebanyak hari yang ditinggalkan karena faktor mengulur-ulur waktu tersebut.

Berikut adalah riwayat dari beberapa sahabat terkait qadha puasa dan denda fidyah;

Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu ;

عن أبي هريرة قال من أدركه رمضان وهو مريض ثم صح فلم يقضه حتى أدركه رمضان آخر صام الذي أدرك ثم صام الاول وأطعم عن كل يوم نصف صاع من قمح

“Dari Abu Hurairah, ia berkata ; siapa yang sakit pada bulan Ramadhan, lalu sembuh dan tidak mengqadha puasa yang ditinggalkan hingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya, maka ia tetap melaksakan puasa Ramadhan yang ada, kemudian dia harus mengqadha puasa yang lewat ditambah dengan -fidyah- setengah shâ‘ gandung untuk setiap harinya”

(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.234, no.7620)


عن أبي هريرة قال إن إنسانا مرض في رمضان ثم صح فلم يقضه حتى أدركه شهر رمضان آخر فليصم الذي أحدث ثم يقضي الآخر ويطعم مع كل يوم مسكينا

“Dari Abu Hurairah, ia berkata; seseorang yang sakit pada bulan Ramadhan (dan tidak berpuasa), kemudian sembuh, namun puasa itu belum diqadhanya hingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus puasa Ramadhan yang ada, lalu mengqadha puasa yang lewat ditambah dengan denda fidyah; satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan”

(Abdurrazzaq, al-Mushannaf, vol.4, hal.234, no.7621)

سئل سعيد هو ابن أبي عروبة عن رجل تتابع عليه رمضانان وفرّط فيما بينهما فأخبرنا عن قتادة عن صالح أبي الخليل عن مجاهد عن أبي هريرة أنه قال: يصوم الذي حضر ويقضي الآخر ويطعم لكل يوم مسكينا

“Sa‘id Ibn Abi ‘Arubah (w.156H) pernah ditanya tentang seseorang yang bertemu dua Ramadhan dan tidak mengqadha puasa yang ditinggalkan saat jeda antara dua Ramadhan tersebut. Lalu Ibn Abi ‘Arubah langsung menyampaikan riwayat kepada kami dari Qatadah (w.100H)), dari Shalih Ibn Abi Khalil, dari Mujahid (w.101H)), dari Abu Hurairah, ia berkata ; (orang itu) tetap berpuasa Ramadhan ini, lalu harus mengqadha puasa yang ia tinggalkan sekaligus membayar denda fidyah; satu hari yang ditinggalkan untuk satu orang miskin”

(Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol.4, hal.253, no.8471)


Abdullah Ibn ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ;

عن ابن عباس: في رجل أدركه رمضان وعليه رمضان آخر قال: يصوم هذا ويطعم عن ذاك كل يوم مسكينا ويقضيه

“Dari Ibn Abbas, tentang seseorang yang bertemu dengan Ramadhan yang baru sementara ia memiliki kewajiban puasa yang lalu, maka Ibn Abbas mengatakan; Dia tetap melakukan puasa yang sekarang, lalu memberikan makan satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan dan disertai dengan mengqadha puasa tersebut”

(Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, vol.4, hal.253, no.8470)

Berikut keterangan para ulama;

Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Khalaf Ibn Abdul Malik Ibn Batthal al-Qurthubi (w.449H);

وأجمع أهل العلم على أن من قضى ما عليه من رمضان فى شعبان بعده أنه مؤد لفرضه غير مفرط

“Ulama berijma‘ bahwa orang yang mengqadha puasa Ramadhannya yang lalu di bulan Sya‘ban (sebelum Ramadhan yang baru) berarti telah menunaikan kewajibannya, tidak melampaui masa dia harus mengqadha”

(Ibn Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, vol.4, hal.95)


Al-Imam Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Habib al-Bashri (w.450H);

وإن أخره غير معذور فعليه مع القضاء الكفارة عن كل يوم بمد من طعام، وهو إجماع الصحابة ... هذا مع إجماع ستة من الصحابة لا يعرف لهم خلاف

“Jika seseorang mengundur qadha puasa tanpa uzur maka di samping mengqadha, dia juga harus membayar denda fidyah sebanyak satu mudd untuk satu hari yang ditinggalkan, dan ini adalah ijma‘ para sahabat ... meskipun sahabat yang berijma ada enam orang, namun tidak diketahui ada yang berpandangan berbeda”

(al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr Syarh Mukhtashar al-Muzanî, vol.3, hal.983 & 984)


Al-Imam Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah al-Maqdisi (w.620H);

فإن كان لغير عذر فعليه مع القضاء إطعام مسكين لكل يوم، وبهذا قال ابن عباس وابن عمر وأبو هريرة ... ولنا ما روي عن ابن عمر وابن عباس وأبي هريرة أنهم قالوا: أطعم عن كل يوم مسكينا ولم يرو عن غيرهم من الصحابة خلافهم

“Maka jika seseorang (belum mengqadha puasa) tanpa uzur, maka di samping mengqadha itu dia harus membayar denda fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah berpendapat demikian. Kami memiliki riwayat dari mereka (ketika ditanya) mereka menjawab; Beri makanlah satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan, dan tidak ada riwayat dari sahabat lain yang berpendapat berbeda”

(Ibn Qudamah, al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Imâm Abî al-Qâsim al-Kharqî, vol.3, hal.85)


Al-Imam Abu al-‘Abbas Ahmad Ibn Idris Ibn Abdirrahman al-Qarrâfî (w.684H);

وجوابه أن ابن عمر وابن عباس وأبا هريرة رضي الله عنهم كانوا يقولون بذلك من غير نكير فكان إجماعا

“Dan jawab atas itu adalah tidak adanya pengingkaran dari sahabat lain atas perkataan Ibn Umar, Ibn Abbas dan Abu Hurairah (terkait Qadha dan denda Fidyah ini), sehingga menjadi ijma‘”

(Al-Qarrâfî, al-Dzakhîrah, vol.2, hal.525)


Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fadhl Ahmad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani (w.852H) ketika memberikan catatan tambahan untuk hadis yang diriwayatkan al-Baihaqi di atas, ia mengatakan ;

وحكى الطحاوي عن يحيى بن أكتم أن في هذه المسألة قول ستة من الصحابة وسمى منهم صاحب المهذب عليا وجابرا والحسين بن علي

“Dan al-Thahâwî meriwayatkan dari Yahyâ Ibn Aktam bahwa masalah ini ada argumen dari perkataan enam orang sahabat. Penulis al-Muhadzzab (al-Syîrâzî) menyebutkan di antara nama mereka yatu; Ali, Jabir, Husain Ibn Ali”

(Ibn Hajar al-Asqalani, Talkhîsh al-Habîr Fî Takhrîj Ahâdîts al-Râfi‘î al-Kabîr, vol.2, hal.456)


Wallahu A’lam

Ustadz Ashfi Bagindo Pakiah

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad